Reformasi 1998 menjadi tonggak penting dalam sejarah bangsa Indonesia. Peristiwa ini menandai berakhirnya Orde Baru dan membuka jalan bagi era demokratisasi yang lebih luas. Namun, setelah 27 tahun berlalu, banyak pihak mempertanyakan arah dan kualitas demokrasi di Indonesia. Tidak sedikit yang menilai demokrasi justru mengalami kemunduran, sementara peran militer di ranah sipil kembali menguat. Artikel ini akan mengulas perjalanan demokrasi Indonesia selama 27 tahun reformasi, indikator kemunduran demokrasi, dominasi militer, serta tantangan dan prospek ke depan.
27 Tahun Reformasi: Refleksi Perjalanan Demokrasi Indonesia
Reformasi 1998 membawa harapan besar bagi masyarakat Indonesia untuk mewujudkan kehidupan yang lebih demokratis, adil, dan terbuka. Kejatuhan Presiden Soeharto mengakhiri rezim otoriter Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun. Transisi menuju demokrasi ditandai dengan berbagai perubahan mendasar, seperti amandemen UUD 1945, penyelenggaraan pemilu multipartai, serta penguatan lembaga-lembaga negara yang independen.
Pada dekade pertama reformasi, Indonesia mendapat apresiasi internasional sebagai negara dengan kemajuan demokrasi yang signifikan di kawasan Asia Tenggara. Kebebasan pers meningkat, masyarakat sipil semakin aktif, dan partisipasi politik menjadi lebih inklusif. Berbagai undang-undang yang mendukung hak asasi manusia mulai diterapkan dan diawasi oleh lembaga-lembaga independen.
Namun, seiring waktu, perjalanan demokrasi Indonesia menghadapi berbagai tantangan. Munculnya praktek oligarki, korupsi yang meluas, serta penetrasi modal ke dalam politik mulai mengkhawatirkan. Seringkali, kepentingan kelompok elite lebih dominan dibandingkan kepentingan rakyat banyak. Hal ini menyebabkan sebagian masyarakat merasa terasing dari proses politik yang seharusnya inklusif.
Di sisi lain, keterbukaan demokrasi juga membuka keran bagi munculnya polarisasi politik dan sentimen identitas. Perdebatan politik tidak lagi sekadar membahas isu substantif, namun seringkali terjebak pada politik identitas yang membelah masyarakat. Fenomena ini semakin terasa pada setiap momentum pemilu, baik di tingkat nasional maupun lokal.
Reformasi birokrasi yang diharapkan dapat meningkatkan tata kelola pemerintahan yang baik juga mengalami kendala implementasi. Birokrasi seringkali masih diwarnai praktek-praktek lama yang tidak efisien dan kurang transparan. Akibatnya, kepercayaan publik terhadap pemerintah dan institusi negara kerap mengalami fluktuasi.
Secara umum, refleksi 27 tahun reformasi menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia telah melalui berbagai fase perkembangan. Meski terdapat pencapaian penting, perjalanan ini masih menyisakan banyak pekerjaan rumah untuk mewujudkan demokrasi yang substansial dan berkeadilan.
Indikator Kemunduran Demokrasi Selama Dua Dekade Terakhir
Beberapa indikator menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia mengalami kemunduran dalam dua dekade terakhir. Salah satunya adalah penurunan skor demokrasi dalam berbagai indeks global, seperti Democracy Index oleh The Economist Intelligence Unit (EIU) maupun Freedom in the World oleh Freedom House. Skor Indonesia cenderung stagnan bahkan menurun sejak awal 2010-an, terutama terkait kebebasan sipil dan kebebasan pers.
Kebebasan berpendapat di ruang publik semakin terancam, baik oleh regulasi yang represif maupun tindakan aparat keamanan. Sejumlah kasus penangkapan aktivis, pembubaran diskusi, dan kriminalisasi terhadap warga negara yang kritis menjadi catatan negatif. Penggunaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) seringkali dipakai untuk membungkam suara-suara kritis terhadap pemerintah.
Pemilu yang seharusnya menjadi ajang kontestasi ide dan gagasan, kerap diwarnai politik uang, manipulasi suara, dan konflik horizontal. Oligarki politik dan ekonomi semakin menguat, di mana partai-partai politik seringkali dikuasai oleh segelintir elite yang memiliki modal besar. Hal ini membuat akses warga biasa terhadap proses politik semakin terbatas.
Indikator lain adalah semakin lemahnya fungsi kontrol dan pengawasan terhadap pemerintah oleh lembaga legislatif maupun yudikatif. DPR sebagai representasi rakyat kerap dianggap tidak efektif dan justru terlibat dalam skandal korupsi. Sementara itu, independensi lembaga penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga kian dipertanyakan setelah revisi sejumlah undang-undang yang memperlemah kewenangannya.
Selain itu, kualitas tata kelola pemerintahan dan pelayanan publik juga menjadi sorotan. Praktek-praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) masih marak terjadi di berbagai level pemerintahan. Proses pengambilan kebijakan pun kerap tidak transparan dan tidak melibatkan partisipasi publik secara bermakna.
Dengan berbagai indikator tersebut, kemunduran demokrasi di Indonesia menjadi persoalan serius yang membutuhkan perhatian semua pihak. Tanpa perbaikan yang nyata, cita-cita reformasi untuk menciptakan negara hukum yang demokratis dan adil berpotensi semakin jauh dari kenyataan.
Meningkatnya Peran dan Dominasi Militer di Ranah Sipil
Salah satu kekhawatiran utama pasca reformasi adalah kembalinya peran militer di ranah sipil. Setelah sempat didorong untuk kembali ke barak dan fokus pada pertahanan, dalam beberapa tahun terakhir militer Indonesia kembali memainkan peran signifikan di sektor-sektor non-militer. Fenomena ini terlihat dari penunjukan sejumlah purnawirawan militer pada jabatan strategis di pemerintahan, BUMN, hingga lembaga negara lainnya.
Dominasi militer bukan hanya terjadi di tingkat pusat, tetapi juga di level daerah. Banyak kepala daerah yang berlatar belakang militer atau menggandeng tokoh militer dalam Pilkada. Selain itu, beberapa kebijakan pemerintah seperti pelibatan TNI dalam penanganan bencana, keamanan dalam negeri, hingga program pembangunan kerap menjadi justifikasi keterlibatan militer di luar tugas utamanya.
Penguatan peran militer juga terlihat dari regulasi dan kebijakan yang memperluas wewenang TNI. Beberapa peraturan memungkinkan militer untuk terlibat aktif dalam penanganan terorisme, penegakan hukum, dan bidang keamanan siber. Hal ini memunculkan risiko tumpang tindih dengan peran institusi sipil dan mengaburkan batas antara ranah militer dan sipil.
Dinamika ini memicu kekhawatiran adanya kemunduran prinsip supremasi sipil yang menjadi salah satu fondasi demokrasi. Keterlibatan militer di sektor sipil berpotensi menurunkan akuntabilitas, karena mekanisme pengawasan terhadap institusi militer tidak seketat institusi sipil. Selain itu, budaya komando dan hirarkis militer kerap bertentangan dengan prinsip tata kelola demokratis dan partisipatif.
Meningkatnya peran militer juga bisa dilihat dari narasi publik dan kebijakan yang menekankan stabilitas dan keamanan di atas hak asasi manusia dan kebebasan sipil. Retorika semacam ini, yang dipopulerkan sejak era Orde Baru, kembali mendapat ruang dalam diskursus politik saat ini. Sejumlah kebijakan penanggulangan konflik sosial atau separatisme, misalnya, lebih mengedepankan pendekatan keamanan yang melibatkan TNI secara langsung.
Fenomena meningkatnya dominasi militer ini harus menjadi perhatian serius agar tidak melunturkan capaian reformasi. Keseimbangan antara kebutuhan keamanan dan prinsip-prinsip demokrasi mutlak dipertahankan untuk mencegah kembalinya pola-pola otoriter masa lalu.
Tantangan dan Prospek Demokrasi di Masa Depan
Demokrasi Indonesia menghadapi sejumlah tantangan besar ke depan. Salah satunya adalah memastikan supremasi sipil tetap tegak dan mencegah intervensi militer di luar tugas utamanya. Reformasi sektor keamanan harus dilanjutkan, termasuk penguatan sistem pengawasan dan akuntabilitas terhadap institusi militer.
Selain itu, penguatan lembaga-lembaga demokrasi seperti KPK, Komnas HAM, dan lembaga pengawas lainnya sangat penting agar dapat menjalankan fungsi kontrol secara efektif. Upaya pelemahan lembaga-lembaga ini harus dilawan melalui partisipasi masyarakat dan dukungan politik yang luas. Penegakan hukum terhadap pelanggaran HAM dan praktik korupsi juga perlu diperkuat demi menjaga kepercayaan publik.
Tantangan lain adalah polarisasi politik dan menguatnya politik identitas. Negara harus mampu menjaga keberagaman dan mendorong dialog lintas kelompok demi mencegah konflik horizontal yang dapat merusak sendi-sendi demokrasi. Perlu ada upaya serius untuk memperkuat pendidikan politik dan literasi demokrasi di masyarakat.
Dalam konteks partisipasi politik, perlu dibuka ruang lebih luas bagi keterlibatan masyarakat sipil, kelompok perempuan, pemuda, dan minoritas dalam proses pengambilan keputusan publik. Demokrasi yang sehat hanya bisa dicapai jika proses politik benar-benar inklusif dan partisipatif, bukan dikendalikan segelintir elite.
Teknologi dan media sosial juga menjadi pedang bermata dua bagi demokrasi. Di satu sisi, mereka membuka ruang kritik dan dialog publik; namun di sisi lain, juga rentan disalahgunakan untuk penyebaran hoaks dan ujaran kebencian yang merusak kohesi sosial. Negara dan masyarakat perlu bersama-sama membangun ekosistem digital yang sehat dan demokratis.
Prospek demokrasi Indonesia ke depan sangat ditentukan oleh komitmen semua elemen bangsa terhadap nilai-nilai reformasi, serta keberanian untuk melakukan perubahan. Dengan kerja kolektif dan penguatan institusi, harapan untuk mewujudkan demokrasi yang substantif dan berkeadilan masih sangat terbuka.
Perjalanan 27 tahun reformasi Indonesia merupakan proses panjang yang penuh dinamika. Meski telah membawa perubahan signifikan, berbagai tantangan, terutama kemunduran demokrasi dan menguatnya peran militer di ranah sipil, masih menjadi pekerjaan rumah besar bangsa ini. Refleksi dan evaluasi yang jujur sangat diperlukan agar cita-cita reformasi dapat diwujudkan secara nyata. Harapan akan demokrasi yang sehat, inklusif, dan berkeadilan tetap hidup, selama semua elemen bangsa bersedia menjaga dan memperjuangkan nilai-nilai demokrasi dalam praktik bernegara.